Rabu, 29 Mei 2019

OMSET MENURUN? TEMUKAN PENYEBAB DAN SOLUSINYA


#Part 1
Faktor Eksternal


 Omset Penjualan Menurun Bikin Galau?

         Omset adalah total penghasilan kotor usaha. Omset dihitung dengan mengkalikan total produk terjual dengan harga per item.Bagi pelaku bisnis, saat usaha mengalami penurunan omset atau sepi orderan pastilah jadi galau. Benar atau tidak? Ya, saya kira hampir semua pasti merasa galau. Apalagi jika hal itu berlangsung hingga beberapa waktu, dan tidak jua lekas ada tanda-tanda akan segera membaik. Sementara pengeluaran untuk gaji pegawai dan biaya operasional perusahaan terus berjalan setiap harinya.Sebagian orang mungkin ada yang merasa frustasi, lalu menyerah dan diikuti dengan keputusan untuk menjual usaha dan aset perusahaan kepada pihak lain. Mereka berpikir bahwa membiarkan perusahaan terus merugi adalah keputusan yang salah. Memang salah! Masak iya sih, perusahaan merugi dibiarkan. Tapi, apakah keputusan menjual usaha itu juga benar? Dalam bisnis, jangankan penurunan omset, bangkrut itu hal biasa.


           Tahukah kamu, banyak pebisnis besar atau pelaku usaha yang sukses awalnya mengalami kebangkrutan. Akan tetapi mereka memiliki mindset yang berbeda tentang kebangkrutan. Pebisnis sukses melihat atau menganggap kebangkrutan sebagai 'uang sekolah'. Artinya begini, kita sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi, berapa biaya yang sudah dikeluarkan oleh orang tua kita? pernahkah kamu menghitungnya? Tanpa disadari mungkin orangtua kita telah mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta. Pernahkah berpikir, apa yang sudah kita peroleh dari pendidikan selama kurang lebih 20 tahun (TK-Perguruan Tinggi) ? Ilmu pasti. selain ilmu kita mendapatkan banyak pengalaman. Namun,jika kita mau menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk pendidikan kita itu, lalu kita berandai-andai, uang yang sudah dikeluarkan untuk biaya pendidikan kita jika diakumulasikan mungkin oleh orang tua kita bisa dibelikan mobil, rumah, atau asset lainnya. Tapi dengan membelanjakannya sebagai biaya pendidikan, apakah itu berarti orang tua kita RUGI/BANGKRUT? A BIG NO. Jadi, apabila kita mengalami kerugian/bangkrut dalam bisnis, anggaplah itu sebagai 'uang sekolah', telah mendapatkan pengalaman dan ilmu dari kebangkrutan itu sendiri. Selanjutnya, kita harus kembali bangkit, jangan menyerah. Ingat! setiap kegagalan adalah bagian dari proses.


        Di sini saya tidak akan membahas benar atau salah secara panjang lebar, karena poinnya di sini adalah, saya ingin sharing pengalaman, apa yang bisa dilakukan saat omset mengalami penurunan.



      Saya baru tiga tahun menjalankan usaha toko pakaian (online dan offline), yang namanya usaha pasti ada saat-saat pasang ada saat-saat surut. Saat usaha sedang pasang atau omset meningkat,biasanya selalu berbanding lurus dengan meningkatnya pekerjaan, sehingga kita mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran kita pada pekerjaan. Sibuk mengatur dan memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan agar deadline tidak meleset, pesanan jadi tepat waktu, customer puas dan senang, dan segera menyelesaikan pembayarannya. Pada kondisi seperti ini, apa yang kita pikirkan dan kerjakan hanya fokus pada bagaimana menyelesaikan pekerjaan (baca: pesanan) urgent saat itu. Tidak  sempat memikirkan ide inovasi, juga tidak ada waktu untuk merumuskan strategi atau terobosan-terobosan baru dalam pemasaran.  Jika ada sedikit waktu luang pun, kita gunakan untuk beristirahat karena kita sudah penat dan capek.

      Sebaliknya, saat usaha sedang surut atau sepi order, pekerjaan lebih sedikit, dan waktu lebih longgar, artinya kita punya banyak waktu luang untuk beristirahat atau relax. Selama ini, jika dalam kurun waktu 1-2 minggu omset tampak mengalami penurunan, biasanya saya gunakan untuk beristirahat. Relax dulu, menikmati waktu. 1-2 minggu itu hal biasa, jangan langsung galau apalagi stress. Bisnis itu tidak mungkin grafiknya naik terus, pasti ada kalanya turun juga. Hadapi dengan tenang, dan tinggal piknik dulu saja.

Mencari Faktor Penyebab Penurunan Omset Penjualan

       Penurunan omset penjualan bisa disebabkan oleh banyak faktor, bisa faktor  eksternal atau faktor internal. Pada part 1, aku hanya akan membahas mengenai faktor eksternal. 
Faktor eksternal itu misalnya pengaruh musim/cuaca, situasi politik, atau kebijakan/peraturan baru pemerintah.

-    Pengaruh musim/cuaca
      Contohnya, misal usahamu adalah jualan es cincau, biasa laku keras di musim panas (kemarau) dengan omset rata-rata 300.000/hari. Eh, pas tiba musim hujan, omset kamu turun jadi setengahnya atau bahkan lebih buruk lagi, misal turun 60%. Penurunan omset karena factor  ini bukan kamu saja yang mengalami, tapi dirasakan semua pelaku usaha sejenis. Hal ini disebabkan, pada musim hujan/dingin orang cenderung mengurangi konsumsi makanan/minuman dingin, sebaliknya mereka beralih ke makanan/minuman yang bisa menghangatkan tubuh mereka. Penurunan omset tersebut bisa disiasati dengan menambah menu jualan, jika di musim panas kamu jualan es cincau, di musim hujan produksi es cincau dikurangi, dan bisa kamu lengkapi menu lain yang banyak dicari orang di musim dingin, misalnya wedang asle atau ronde.

-    Situasi politik
     Bagaimana situasi politik bisa menjadi factor yang mempengaruhi omset penjualanmu? Contoh yang baru saja kita alami bersama, yaitu masa jelang PEMILU April 2019. Selama kurang lebih 6 bulan Negara disibukkan dengan kegiatan kampanye dan tetek-bengek yang berkaitan dengan persiapan pesta demokrasi tersebut. Nah, selama enam bulan itu berpengaruh sekali loh dengan permintaan barang. Cerita sedikit tentang pengalamanku sendiri, selama ini selain jalanin usaha olshop fesyen, aku juga ada usaha agen/distributor buku, spesialisasi buku pendidi an luar sekolah (PLS) yaitu modul-modul pembelajaran yang banyak dibutuhkan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Meskipun begitu aku juga melayani pesanan lain, yang tidak jauh-jauh dari kebutuhan PKBM itu sendiri, seperti meja belajar, rak buku, lemari, sampai baju batik untuk pengurus-pengurusnya. Pihak customer yang memesan modul di tempatku seringkali menulis daftar kebutuhan untuk PKBM atau sekolahnya, lalu minta dicarikan sekalian.

       Selama ini aku punya customer setia yang setiap tahun selalu ada permintaan barang, biasanya ada 2 kali permintaan dalam 1 tahun, yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Permintaan bulan Februari biasanya direalisasikan pada bulan April/Mei, akhir Mei atau awal Juni sudah dilakukan pelunasan. Permintaan bulan Agustus biasanya direalisasikan pada sekitar bulan September atau Oktober, mentok sampai akhir tahun, semua  clear. Tapi, pada tahun 2018 permintaan turun, biasanya setahun 2 kali, kemarin hanya sekali. Lalu, di tahun 2019 ini, biasanya bulan Februari sudah mulai ada surat permintaan barang masuk, tapi bulan maret baru ada tanda-tanda, yaitu mulai ada permintaan katalog product 2019. Katanya mau mempelajari katalognya dulu, surat permintaan barang dikirimkan setelah PEMILU. Kenapa menunggu setelah PEMILU? Karena anggaran/bantuan dari pemerintah belum pada turun, diperkirakan baru cair setelah pesta demokrasi selesai. Jadi,…sabarrr duluuuuu. Saat ini PEMILU sudah selesai, tapi orang kembali disibukkan dengan kegiatan bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Akhirnya, kembali tertunda, nanti setelah lebaran, begitu kata customerku. Sabar…kalau rejeki tidak akan kemana. Bagitulah, aku kira sedikit ceritaku di atas sudah bisa memberikan gambaran korelasi antara pengaruh situasi politik terhadap omset penjualan kita.

       Bagaimana cara aku mengatasi masalah itu? Mungkin karena aku ada tiga lini usaha, yaitu kost, toko pakaian, dan distributor buku, jadi ketiganya bisa saling menopang, artinya ketika salah satu mengalami penurunan omset penjualan yang disebabkan faktor ekternal seperti disebutkan di atas, usaha lain bisa diandalkan. Akan berbeda jika usaha kita hanya satu jenis, dan sumber penghasilan kita juga hanya bersumber pada usaha tersebut, maka jika terjadi hal-hal seperti di atas, bisa dipastikan usaha akan goyah.
  
-    Kebijakan Pemerintah
      Kebijakan pemerintah ini bisa terkait dengan diberlakukannya undang-undang baru atau bisa juga berupa instruksi pemerintah yang sifatnya temporer atau sementara waktu. Aku kasih contoh yang masih hangat saja, yaitu adanya pembatasan akses social media  (whatsapp, Instagram, dan Facebook) oleh MENKOMINFO selama 3 hari, terhitung dair tanggal 22-25 Mei. Bagi mereka yang menggunakan medsos sebatas untuk hiburan atau senang-senang mungkin ngga begitu berpengaruh, kecuali kesal saja karena tidak bisa leluasa membuka foto/video yang berseliweran di beranda. Kadang ada teman unggah video dengan diberi caption yang mengundang rasa penasaran, tapi ga bisa buka videonya. Kesal, ya mungkin sebatas itu. Tapi, bagi orang yang memanfaatkan social media untuk berjualan, medsos adalah pasar. Jadi, adanya pembatasan akses social media oleh MENKOMINFO = MENUTUP PASAR. Bagaimana bisa berjualan kalau pasarnya saja ditutup. Dalam hal ini penjual dan pembeli sama-sama dirugikan.

      Sosmed bersifat maya tapi kita berinteraksi dan melakukan transaksi jual beli dengan customer secara riil. Ya, meski tidak bertatap muka langsung, bahkan tidak pernah ketemu atau kenal sebelumnya, tapi terjadi transaksi nyata, buyer mentransfer sejumlah uang ke rekening seller untuk pembayaran barang yang dibeli, dan seller mengirim barang ke customernya.  Selama pembatasan akses sosmed berlangsung , banyak sekali pelaku bisnis online mengeluhkan penurunan omset , bahkan ada yang tidak bisa berjualan sama sekali. Apalagi pembatasan itu dilakukan bersamaan dengan moment menjelang ramadhan, dimana permintaan barang sedang mengalami peningkatan tajam, terutama yang menjual produk fesyen, makanan, dan sembako.  Tidak dipungkiri, para padagang pasti berharap bisa panen raya di moment ini.

     Usaha toko bajuku pun ikut terimbas, dari tanggal 22-24 Mei omset penjualan menurun drastis. Biasanya admin kewalahan balas chat, selama 2 hari pertama tidak ada chat masuk di WA. Di hari ketiga, mulai ada tapi hanya satu atau 2 orang saja, itu pun reseller. Di marketplace pun ikut mengalami penurunan, karena sinyal internet yang down, ya selama 3 hari itu memang susah mengakses, aku sebagai seller membuka satu produk saja cuma muter…muter…dan muter saja, terkadang sudah menunggu lama, eh gambarnya tidak mau muncul. Calon pembeli yang ingin melihat-lihat produk pun mengalami kendala demikian, jadinya kebanyakan mereka mengurungkan niatnya untuk membeli online. Tanggal 25 Mei sinyal internet mulai normal kembali, secara resmi pada hari itu MENKOMINFO mengumumkan bahwa masa pembatasan akses internet dan social media telah berakhir. Tapi, waktu emas belanja online untuk keperluan lebaran semakin pendek. Pihak ekpedisi sendiri juga mulai mengalami overload. Dalam kondisi seperti ini, calon pembeli menjadi ragu untuk berbelanja online. Mereka tentu tidak mau berspekulasi, niatnya beli baju buat hari raya, tapi barang kemungkinan baru sampai setelah hari raya idul fitri. Penurunan omset penjualan karena adanya pembatasan akses internet dan social media dirasakan merata, semua pedagang online ikut merasakan.

     Pedagang yang memiliki toko online dan offline jika omset penjualan online turun masih bisa berharap dari toko offline-nya. Bagaimana dengan usahaku sendiri? Aku memang memulai usahaku dari pasar online, meski sekarang ada toko offline, tetapi omset jauh dari omset online. Saat ini, penghasilan offline tokoku itu hanya sekitar 11,9% dari seluruh omset. Sisanya 79,1% diperoleh dari pasar online, baik marketplace maupun online lainnya (IG, FB, dan WA).

Saat ada pembatasan akses social media oleh pemerintah kemarin aku lebih menyikapinya dengan tenang, bagaimanapun apa yang dilakukan pemerintah demi mengatasi stabilitas politik nasional. Sambil menunggu kondisi kondusif dan koneksi internet normal, aku pakai buat evaluasi pekerjaan. Selama ini aku memang membuat catatan-catatan tentang kinerja pegawai. Aku juga mencatat masalah/kendala yang dihadapi setiap bulan. Biasanya setiap 3 bulan sekali, catatan itu aku rangkum. Dalam acara makan bersama, evaluasi terhadap kinerja mereka aku sampaikan, misal ada complain customer mengenai kualitas pelayanan mereka, aku sampaikan juga. Aku minta mereka menyampaikan kendala dan permasalahan dalam pekerjaan agar bisa dibicarakan solusinya.  


















#omsetmenurun
#solusipenurunanomset
#menemukanpenyebabpenurunanomset
#supplierbajubatiksolo
#onlineshop
#peluangusahaonline
#jasajahitonline
#langitjua
#langitjuacollection
#mumpunibatiksolo
#batikbangausolo

Sabtu, 05 Juli 2014

PKI VS KORUPTOR : Siapa Lebih Berbahaya?


Situasi Menjelang Pilpres Yang Memanas

Pilpres semakin dekat, suasana politik semakin panas. Black campaign dengan isu-isu SARA banyak dihembuskan, fitnah-fitnah bertebaran tanpa ada yang tahu siapa yang pertama menghembuskannya. Saya memilih tidak mengatakan capres siapa yang lebih banyak difitnah dan diserang isu SARA dan fitnah, karena kenyataan masing-masing capres merasa difitnah dan merasa didzolimi. Ketika kubu Jokowi mengatakan kasihan Pak Jokowi difitnah terus, maka perlawanan dr pendukung Pak Prabowo pun tak kalah seru, bahkan tak jarang yang menuduh semua rekayasa pendukung Jokowi, biar dikasihani, biar terlihat terdzolimi, dan seperti itu terus bergulir, sampai-sampai terlihat ruwet, siapa yg benar siapa yang salah, semua menjadi abu-abu.

Jokowi Kalah Pilpres Akan Terjadi Chaos di Indonesia

Sebetulnya, Prabowo atau Jokowi sama-sama layak menjadi presiden. Mereka berdua sama-sama putra terbaik bangsa.

Prabowo maupun Jokowi, Sebagai negarawan sudah pasti tidak perlu diragukan lagi intelektualitas dan kemampuannya dalam mengendalikan emosi (baca: pengendalian diri). Namun, bagaimana dengan timses, simpatisan, dan follower masing-masing capres? Siapa yang bisa menjamin simpatisan dan follower masing-masing capres untuk bisa patuh terhadap capres yang mereka dukung? Mereka berjumlah jutaan, bayangkan jutaan! Jutaan orang dengan berbagai latar belakang keluarga, pendidikan, sosial, dan budaya tentulah mereka memiliki karakter sangat beragam.

Dua hari lalu, sy membaca berita berjudul Romo Magnis : Jokowi Kalah Pilpres Akan Terjadi Chaos di Indonesia “ di sebuah media online.   (http://www.voa-islam.com/read/opini/2014/06/27/31186/romo-magnis-jokowi-kalah-pilpres-akan-terjadi-chaos-di-indonesia/#sthash.wRH2HiGL.dpbs ) Menurut saya berita itu provokatif, bermuatan menyudutkan capres Jokowi.  Sebab, secara implisit kalimat dalam berita itu mengatakan bahwa Jokowi atau pendukungnya akan tidak terima dengan kekalahan dan membuat chaos. Kalimat ini bahaya, karena bisa dijadikan celah bagi kubu lawan Jokowi untuk dipelintir menjadi anggapan negatif, mereka bisa mengatakan kepada masyarakat bahwa, pendukung Jokowi brutal, anarkis, nanti bisa bikin onar jika kalah.  Padahal jika kita mau berpikir jernih, siapapun yang kalah, Jokowi ataupun Prabowo, semua berpotensi menimbulkan chaos. Seperti saya katakan di muka, Prabowo baik….Jokowi baik, tp siapa yang bisa mengendalikan masing-masing pendukung capres yang jutaan itu, dimana mereka memiliki karakter yang beragam? Namun, rasanya sangat tidak adil, bila anggapan potensi terjadinya chaos hanya ditujukan kepada kubu Jokowi.

Usai membaca berita itu, saya sempat menulis status di dinding facebook, intinya mengatakan bahwa siapapun capres yang kalah kemungkinan chaos ada, karena masing-masing capres memiliki jutaan followers dengan beragam karakter, dan sini baik Prabowo maupun Jokowi saya yakin tak ada yang mampu mengendalikan orang sebanyak itu. Di akhir postingan sy sempat menyisipkan harapan, siapapun yang menang nantinya semoga pilpres berjalan lancar, aman, dan damai.

Ada beberapa komentar dari teman yang mendukung Prabowo maupun Jokowi, biasalah….namanya manusia beda pendapat pasti ada. Demikian pula orang-orang yang sempat meninggalkan komentar. Saat mulai muncul indikasi gesekan pendapat antar komentator, muncullah seorang teman yang turut berkomentar, “Jangan dipostinglah berita itu, aku tahu kamu tidak rela, tp tindakanmu memposting berita sampah dari media abal-abal kayak gitu, sama saja kamu menyiram api unggun dengan minyak tanah, cuma memperbesar api!” Saya pun akhirnya menghapus postingan itu.

Dibilang tidak rela, ya mungkin tidak rela. Karena saya sendiri telah menentukan pilihan kepada Jokowi-JK pada tanggal 9 Juli mendatang. Meski sebetulnya, sebelumnyaa saya suka dengan Prabowo, dan mengharap dia jadi presiden.  Saat dia maju jd wapres berpasangan dengan Megawati dulu, saya pun memilihnya. Di pileg kemarin semua suara saya berikan pada caleg Gerindra, meski saya tak kenal siapa mereka. Itu karena sudah lama sy mempunyai harapan kepada Prabowo. Harapan agar beliau bisa jd presiden, bukan harapan agar dia jadi lelaki saya sehingga sy bisa jadi ibu Negara, sebagaimana pernah dikatakan oleh Adian Napitupulu. Bukan itu!  Serius!!

Saya Ini Seorang Jokower

Jujur, saya ini seorang Jokower. Saya mulai berpaling ke Jokowi-JK semenjak koalisi tenda besar dibentuk.  Saya tak akan menuliskan alasannya, mengapa saya memilih Jokowi-JK. Apa yang sudah pernah dituliskan teman-teman mengenai alasan mereka, mengapa memilih Jokowi sudah mewakili alasan-alasan saya. Diantara alasan-alasan mereka ada satu tulisan yang paling mewakili pandangan dan pemikiran saya, sekira 95% sama dengan alasan-alasan saya, yaitu alasan Beny Raharjo yang ditulis dalam blog pribadinya.  Alasan-alasan itu dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Refleksi: Jokowi tidak layak jadi Presiden? (silakan baca linknya di http://www.raharjo.org/kang-jokowi-tidak-layak-jadi-presiden.html)

Pesan Panjang Menjelang Subuh

Menjelang pagi selepas makan sahur, saya sempat tengok facebook. Ada sebuah pesan panjang di inbok, dari salah seorang teman yang sempat ikut berkomentar di status yang sudah saya hapus. Pesan panjang itu ternyata kutipan dari berita di inilah.com. Bunyinya sebagai berikut:

Pakta Atau Pitonah Doi PKI, Yang Pasti Jangan Beri Peluang Komunis Berkuasa! Dalam masa kampanye Pilpres ini ada beberapa peristiwa yang dapat dinilai sebagai indikasi bangkitnya komunis PKI di Indonesia. Peristiwa tersebut dapat ditelusuri sejak Oktober 2002. Saat itu, kader PDIP Ribka Tjiptaning menulis buku dengan judul yang sangat provokatif 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'. Menyusul kemudian Juni 2010, pertemuan anak PKI dari berbagai kota yang turut dihadiri oleh anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka di Banyuwangi, Jawa Timur. Terakhir dikabarkan anak eks-PKI terbang ke China guna belajar politik dari partai komunis di sana. "Sepertinya komunisme sedang lakukan rekonsolidasi secara serius dan terencana di Indonesia," ujar mantan Aster Kasad Mayjen TNI Purn Prijanto di Jakarta, Minggu (29/6/2014). Menurutnya, istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan pekerja partai yang pernah digunakan tokoh PKI DN Aidit. "Dalam otak orang PKI, Babinsa adalah salah satu dari '7 Setan Desa' yang harus dimusnahkan. Adu domba, saling fitnah, lempar isu sembunyi tangan, mengobok-obak institusi TNI AD mirip dengan suasana kebatinan saat PKI akan lakukan kudeta tahun 1965," kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2007-2012 tersebut. Menurut Prijanto, pelan-pelan rakyat dijauhkan dari TNI di saat yang sama alutsista TNI dilemahkan. "Tank Leopard yang dibutuhkan TNI AD ditolak. Dalam sejarah, TNI-AD memang adalah musuh bebuyutan komunis-PKI. Sepertinya ada aktor tertentu yang secara terbuka ataupun tersembunyi memanfaatkan kebebasan dalam Pilpres untuk memfitnah dan adu domba. Ada apa? Siapa yang bermain?," jelas dia. Dia menjelaskan, rangkaian petistiwa tersebut patut dinilai komunis PKI menggeliat. Ancaman laten komunis sangat nyata, perlu kita waspadai. "Bagi saya hanya satu kalimat yang paling tepat, jangan pernah beri peluang untuk komunis berkuasa di Indonesia," tandasnya.
Sumber: inilah.com
 Menurut pendapatmu bagaimana Rantinah Sastra?


Saya tidak langsung membalasnya karena, pertanyaan itu butuh penjelasan panjang. Kalau langsung saya jawab dengan singkat khawatir malah menimbulkan kesalahpahaman.  Dan, saya ingin membalasnya di sini.

  •           Jangan Beri Peluang Komunis Berkuasa!


# Partai komunis Indonesia/PKI sudah tidak ada, kenapa masih risau?  Takut dengan bahaya latennya? Ah, sudahlaah. Kita akan menghadapi pilpres, di mana ada dua kandidat, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Mereka sudah melangkah jauh.

  •           Dalam masa kampanye Pilpres ini ada beberapa peristiwa yang dapat dinilai sebagai indikasi bangkitnya komunis PKI di Indonesia. Peristiwa tersebut dapat ditelusuri sejak Oktober 2002. Saat itu, kader PDIP Ribka Tjiptaning menulis buku dengan judul yang sangat provokatif 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'.


#Dalam pilpres saat ini, saya amati cara pandang masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu  pandangan positif dan pandangan negatif. Kelompok masyarakat dengan pandangan positif, cenderung menyikapi positif (baca: positive thinking)  setiap hal/kejadian, termasuk hal-hal/kejadian yang sebenarnya tidak diharapkanya. Efeknya, adalah rasa kepercayaan kepada orang lain yang berbeda pandangan. Mereka lebih memilih berpikir positif dan mengesampingkan pikiran “ah…jangan-jangan…ah….jangan-jangan nanti….”.

Beri dulu kesempatan,   kita lihat hasilnya. Bila tidak sesuai harapan, baru kita tuntut dan adili ramai-ramai.

Lain halnya dengan kelompok yang cenderung berpikir negatif, “ah…….jangan -jangan….nanti….”. Fatalnya, kelompok ini tidak jarang seperti diserang paranoid (gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis). Misalnya, istilah ‘capres boneka’. Menurut saya istilah ini lahir dari kelompok pendukung prabowo yang cenderung berpikir negatif. Berawal dari opini yang sebenarnya belum tentu kebenarannya, tapi digembar-gemborkan seolah itu benar dan pasti. Opini ini pun berkembang, disampingkan dari orang ke orang, apalagi yang menyampaikan orang yang cukup berpengaruh, orang awam pun menganggap itu benar dan pasti. Akibatnya terjadilah paranoid massal. Ini istilah saya saja. Kalau orang berpikir positif, tidak akan muncul istilah ‘capres boneka’,  paranoid berpotensi mendorong individu melakukan tindakan nekat, termasuk melakukan black campaign.

Bagi kelompok yang  berpikir positif pasti akan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan lain. Mengapa PDIP mencalonkan Jokowi? Bukankankah secara tradisi kepartaian ketum yang biasa nyapres? Jawabannya jelas! Menjelang pemilu, banyak survei capres yang menyatakan Jokowi pantas jadi presiden. Presiden itu kan pilihan atau aspirasi rakyat, jika memang hasil survei menyatakan Jokowi banyak diharapkan rakyat untuk jadi presiden, bukankah sudah tepat keputusan Megawati? Lalu, kenapa mendadak orang-orang dari kubu Prabowo menjadi paranoid dengan nyapresnya Jokowi?

Kelompok pendukung dengan kecenderungan berpikir positif dan negatif pun ada di kubu Jokowi. Contoh : Reaksi pendukung Jokowi terhadap koalisi tenda besar. Pendukung Jokowi dengan kecenderungan berpikir positf, tidak begitu ambil pusing dengan koalisi itu. Meskipun dengan mudah logika mengatakan, koalisi tenda besar justru memungkinkaan Prabowo dijadikan boneka partai pendukung, yang sudah menyumbangkan massa pemilih untuk memenangkannya. Apalagi, bila mengerti prinsip dan paham yang digembar-gemborkan pentolan-pentolan partai pendukung Prabowo, yang selama ini nyata-nyata bertentangan dengan pluralisme dan intoleransi terhadap minoritas, sementara Prabowo mengklaim menghargai pluralism. Bagi mereka yang berpikiran positif pun menahan diri, ah sudahlah…mudah-mudahan Prabowo tidak seperti yang saya khawatirkan, mudah-mudahan Prabowo tetap bisa tegas jika terpilih nanti. Mereka pun tetap kalem, yang penting tanggal 9 nanti saya coblos no.2, siapapun yang menang, mudah-mudahan membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia.  Bagi pendukung Jokowi dengan kecenderungan berpikir negatif, kekhawtiran itu tidak berhenti sampai di situ, mereka bisa menjadi paranoid sehingga melakukan black campaign dengan menyebarkan isu-isu atau opini-opini yang sebenarnya belum tentu benar/pasti, maklum muncul dari pikiran negatif.  Karena masing-masing kubu memiliki pendukung dengan kecenderungan berpikir negatif, terjadilah aksi saling serang kampanye hitam, saling berbalas-balasan, bertambahlah ruwet suasana politik dunia maya maupun politik dunia nyata.

Berangkat dari adanya pendukung berpikiraan positif dan negatif tersebut, saya akan membahas mengenai Ribka Tjiptaning dan bukunya yang berjudul 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'. Buku yang sempat dicekal dan dilarang disebarluaskan Karena  dinilai sebagai media propaganda/menyebarkan faham komunisme di Indonesia. Dan, sekarang diangkat ke publik karena kebetulan Ribka adalah seorang anggota legislatif dari PDIP. Hal ini dianggap pendukung kubu Prabowo, sekali lagi sy katakan pendukung, bukan pak Prabowo, sebagai bahan menjatuhkan elektabilitas Jokowi, yaitu dengan melemparkan tuduhan bahwa PDIP sarang PKI, selanjutnya tuduhan pun menyerang Jokowi, Jokowi PKI. Tuduhan Ribka penyebar faham komunis, dan PDIP sarang PKI, dan Jokowi PKI itu pastilah muncul dari kelompok pendukung prabowo yang cenderung berpikiran negatif, atau malah paranoid? Sebab, saya yakin, orang yang berpikir positif tidak pernah terjangkiti paranoid. Mereka cenderung mencari tahu kebenaran informasi yang diterimanya.

Judul Bombastis Dalam  Dunia Penerbitan Buku itu Biasa

Dalam industri kreatif, termasuk industri penerbitan buku membuat judul bombastis itu hal biasa. Karena, ini merupakan salah satu strategi penjualan produk. Saat sebuah penerbit memiliki buku dengan isi bagus tetapi omzet penjualan rendah, maka penerbit dapat merenovasi tampilan cover buku tersebut, termasuk mengubah judul buku dengan yang lebih menarik, meski dinilai bombastis. Bukankah saat akan membeli buku di toko, tampilan kulit yang pertama kali dilirik pembeli. Judul bombastis tentu menarik, meski isi belum tentu sesuai judul. Saya pun berpikir positif terhadap buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Judul itu terdengar bombastis dan kontroversial, karena segala hal berkaitan PKI masih menjadi isu sensitif di Negeri ini. Jadi, judul ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’ dinilai penerbit akan menarik dan kontroversial. Akibatnya buku tersebut akan banyak diperbincangkan orang, semakin sering diperbincangkan, semakin banyak orang mencari dan ingin membelinya. Dan, terbukti!
Sebelum mengetahui isinya, aku sudah berpikir positif mengenai isi buku itu. Dugaanku, buku itu berisi kisah perjalanan hidup Ibu Ribka yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan ajaran-ajaran kedisiplinan dari ortunya yang dulu dicap PKI, nilai-nilai positif itulah yang diangkat ibu Ribka, yang menjadikannya bangga karena berkat didikan orang tuanya kini ia bisa menjadi seorang dokter, bahkan anggota legislatif di Senayan. Terlepas ortu seorang PKI atau bukan, salahkah bila seorang anak merasa bangga dengan didikan orang tuanya, yang karena didikannya itu bisa membawanya pada sebuah kesuksesan? Saya sebagai anak seorang kuli bangunan tamatan SD yang dulu senang berjudi pun bisa mengisahkan kebanggaan sy pada orang tua yang berhasil memberikan pendidikan sampai perguruan tinggi. Lalu, membuat buku berjudul bombastis “Aku Bangga, Jadi Anak Penjudi”.

Dugaan saya pun terjawab, Ketua DPP PDIP Budiman Sudjatmiko menjelaskan, buku 'Aku Bangga Jadi Anak PKI' yang ditulis Ribka Tjiptaning hanya berupa memoar perjalanan hidup dan bukan penyebaran ajaran terlarang.

"Buku itu kan isinya memoar perjalanan hidup yang ditulis apa adanya, semua orang boleh membuatnya terlepas apapun latar belakangnya. Mantan teroris juga boleh bikin memoar hidup," ujar Budiman. (http://nasional.inilah.com/read/detail/655221/fpi-keliru-buku-ribka-tak-ajarkan-komunisme#.U7b4K5SSzg9) Lebih detailnya, silakan berburu bukunya. (bukan promosi, serius!)

  •          Menurutnya, istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan pekerja partai yang pernah digunakan tokoh PKI DN Aidit.


#Lagi-lagi ini juga sebuah paranoid yang bersumber dari pikiran negatif, entah siapa orang pertama yang menggulirkannya. Coba cermati kalimat baik-baik.

  • ‘Menurutnya istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme’. 
 #Istilah yang mirip langsung dinilai sebagai modus komunisme, namanya mirip bisa saja sebuah kebetulan kan?  Jelas kan, ini hanya sebuah dugaan. Dan, rupanya dugaan ini berkembang di masyarakat, apalagi sekarang, sudah dipolitisir, jadilah bahan black campaign yang yahud! Orang bebas beropini, bebas membuat analisa dan prediksi sesuai pemahamannya, terlepas akhirnya analisanya meleset atau tepat. Tapi ingat, bung, analisa adalah sebuah dugaan yang tidak boleh dijadikan alat untuk menuduh. Tp isu tentang Jokowi PKI, PDIP sarang PKI bukan lagi sebuah analisa, tp tuduhan. Tuduhan brutal yang bersumber dr sebuah paranoid komunis. Saya bukan orang PDIP bukan orang Gerindra, dan bukan orang dari partai manapun. Saya membuat tulisan ini juga bukan karena disuruh Jokowi atau TIMSES-nya.

  •           "Dalam otak orang PKI, Babinsa adalah salah satu dari '7 Setan Desa' yang harus dimusnahkan. Adu domba, saling fitnah, lempar isu sembunyi tangan, mengobok-obak institusi TNI AD mirip dengan suasana kebatinan saat PKI akan lakukan kudeta tahun 1965," kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2007-2012 tersebut. Menurut Prijanto, pelan-pelan rakyat dijauhkan dari TNI di saat yang sama alutsista TNI dilemahkan. "Tank Leopard yang dibutuhkan TNI AD ditolak. Dalam sejarah, TNI-AD memang adalah musuh bebuyutan komunis-PKI. Sepertinya ada aktor tertentu yang secara terbuka ataupun tersembunyi memanfaatkan kebebasan dalam Pilpres untuk memfitnah dan adu domba. Ada apa? Siapa yang bermain?," jelas dia. Dia menjelaskan, rangkaian petistiwa tersebut patut dinilai komunis PKI menggeliat. Ancaman laten komunis sangat nyata, perlu kita waspadai. "Bagi saya hanya satu kalimat yang paling tepat, jangan pernah beri peluang untuk komunis berkuasa di Indonesia," tandasnya


#Orang begitu paranoid terhadap isu PKI, tidak mengherankan. Semua akibat doktrin ngawur jaman Orde Baru. Di mana setiap peringatan G.30.S/PKI TVRI sebagai salah satu stasiun televisi pemerintah selalu memutar film G.30.S/PKI. Bahkan, saya sendiri pernah mengalami semasa masih duduk di bangku SD, semua murid dikumpulkan di sebuah ruangan dan diajak menonton film itu. Ada sebuah adegan dimana aku tak kuasa melihatnya, lalu aku tutup mata dengan kedua telapak tanganku, sehingga hanya dialognya saja saya dengar. “Penderitaan itu pedih jenderal, sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih, tapi tak sepedih penderitaan rakyat.”suara seorang perempuan, hiiii ngeri. Namun, setelah masa reformasi, pelaku sejarah, juga sejarawan, tiba-tiba membuat revisi sejarah, katanya G.30.S/PKI itu hanya rekayasa dan masih diragukan kebenarannya. Itu hanya usaha kudeta dari seorang Mayjen Soeharto untuk menjatuhkan Bung Karno demi merebut kekuasaannya. Dan, G 30 S/PKI serta supersemarnya itu BOHONG belaka. Masyarakat dicuci otak agar meyakini bahwa PKI dan Bung Karno itu BERSEKONGKOL! Oh, my God!!!

Doktrin tentang komunisme ini masih saya rasakan sewaktu duduk di bangku SMP juga SMA, di mana pernah mendapati seorang guru berkata “Semua murid wajib ikut upacara, yang tidak ikut berarti PKI.” Demikian ucap seorang guru saat mengumumkan akan diadakannya upacara peringatan hari kesaktian pancasila. Betapa mudahnya melabeli PKI hanya karena tidak ikut upacara. Saya tidak termasuk murid yang malas mengikuti upacara, tetapi dalam hati waktu itu berontak. Pak Guru terlalu berlebihan, lebay dalam bahasa anak sekarang. Coba bayangkan, kita yang tidak tahu apa-apa tentang PKI, bahkan tidak melakukan sesuatupun yang berkaitan dengan PKI, tiba-tiba dicap PKI hanya karena tidak ikut upacara hari kesaktian pancasila. Bayangkan!

“Waspadai Bahaya Laten PKI” demikian sy pernah menemui bunyi sebuah stiker, bahkan sewaktu masih SMU dalam rangkaian peringatan hari bahasa Indonesia pernah saya mengikuti lomba menulis di sekolah dengan tema yang tidak jauh dari G.30.S./PKI. Kalau tidak salah waktu itu “Mewaspadai dan Mencegah Bahaya Laten PKI”.
Paranoid terhadap isu bahaya laten PKI di era saat ini apa masih penting, sih? Hal yang belum tentu terjadi tetapi dikhawatirkan terlalu berlebihan. Sebaliknya, bahaya laten korupsi yang jelas-jelas telah menggerogi kekayaan Negara dan menipu raktay diabaikan! Daripada sibuk mengurusi ideologi mending mengurusi koruptor yang jelas-jelas merugikan Negara.
Lalu, kenapa tiba-tiba isu PKI kembali menyeruak menjelang pilpres 2014? Jokowi dan partai pengusungnya dituduh sebagai Komunis yang harus dihindari. Kok, jadi seperti zaman orba, apakah ini berarti pertanda,  ada orang-orang orba yang sedang melancarkan serangan kampanye hitam demi menggagalkan JOKOWI menuju RI-1? Entahlah,…Bagi saya, JOKOWI PKI, PDIP sarang PKI itu fitnah konyol yang lahir dari sebuah paranoid orang lama. Dan orang-orang lama ini sepertinya tidak mau paranoid sendirian, mereka menyebarkan paraoidnya ke banyak orang, sehingga terjadilah paranoid massal terhadap komunisme.


PDIP, Tiongkok, dan Paranoid akan Komunisme

PDIP sebagai partai pengusung Jokowi dihajar black campaign atas tuduhan sarang PKI. TVOne salaah satu media milik Bakrie Group dituding telah menyebarkan fitnah terhadap kader PDI Perjuangan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberitaan brutal itu pun memicu kekecewaan orang-orang PDIP, termasuk relawan dan para pendukung Jokowi. Kekecewaan itu pun memicu aksi anarkis beberapa relawan dan pendukung Jokowi di Yogyakarta dan Jakarta,  dimana diberitakan sekelompok relawan dan partai pendukung Jokowi menggeruduk dan menyegel kantor TVOne. Saya yakin, sangat  yakin tidak mungkin Jokowi juga Megawati memberikan instruksi untuk melakukan tindakan konyol ini. Apa untungnya, toh tindakan ini justru hanya akan mencoreng citra PDIP dan Jokowi. Lagi-lagi, itu reaksi spontan para relawan dan pendukung yang merasa diserang habis-habiskan oleh TVOne. Tuduhan itu sangat-sangat keji. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Tapi saya sebagai pendukung Jokowi juga sangat menyayangkan tindakan itu.
Di era pascareformasi ini masih saja muncul paranoid akan komunisme di Indonesia, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan Tiongkok. Ini sebuah pemikiran yang sangat absurd. Ironisnya sebagian masyarakat Indonesia yang terlanjur dicekoki pemikiran atau doktrin-doktrin bahaya PKI  dengan kalimat-kalimat lebay "waspadaai bahaya laten komunis", "awas komunis bangkit lagi", "tidak beragama = komunis", dan juga pendapat serta pemikiran bahwa PKI itu kejam, sadis, dan stigma lainnya yang tidak berdasar.

Karena saking takutnya dikaitkan dengan G-30-S, semua lapisan masyarakat seolah mengiyakan anggapan bahwa komunis itu jahat luar biasa, dan ini berimbas kepada pandangan masyarakat luas terhadap etnis Tionghoa.
Menghubungkan PKI dengan Tiongkok adalah pemahaman usang dan paranoid serta mengada-ada. Siapa pun di dunia ini bisa melihat bahwa tidak ada setitik pun sisa praktek komunisme di Tiongkok dalam kehidupan bermasyarakat, berekonomi, bernegara, bersosialisasi.

#SALAM 2 JARI. YUK RAMAI-RAMAI PILIH JOKOWI!!!!








Rabu, 05 Maret 2014

DI CARI NASKAH BUKU BERKUALITAS

Kami sebuah perusahaan penerbitan buku umum sedang mencari naskah buku berkualitas untuk dicetak dan diterbitkan. Bagi sahabat penulis yang memiliki stok naskah atau sedang menulis, jangan ragu  untuk menyelesaikannya, dan segera kirimkan kepada kami. Naskah akan kami beli sesuai kesepakatan (MOU).

Kami membutuhkan naskah-naskah bertema berikut:
1. Pengobatan Alternatif (plus minus, bahaya syirik pengobatan alternatif, metode mutahir, tips dlsb)
2. Psikology
3. Motivasi
4. Kewirausahaan
5. Strategi Marketing 
6. Bisnis populer era ini
7. Anak Berkebutuhan Khusus
8. Keterampilan ( memasak, kerajinan/prakarya dll)
9. Seni musik
10. Teknik
11. Informatika
12. Kesehatan

Bagi praktisi yang ingin menuangkan keahliannya dalam bentuk tulisan/buku, kami membuka kesempatan bagi Anda.

Naskah dapat diemailkan ke rantinah.sastra@gmail.com

Senin, 25 Juni 2012

Cucu Pengusaha ‘Setip’




Ah, emakku ternyata kreatif, lebih tepatnya mungkin KERE-AKTIF, jadi aktif karena tak mampu beliin karet penghapus anaknya, xixixixixixixi. Jadi tahu dah, ternyata emakku penganut falsafah ‘TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI, tak ada setip sandal jepit pun jadi.’



Cerita ini terjadi waktu aku duduk di kelas 2 SD, berawal saat aku kehilangan karet penghapus atau yang dalam bahasa lokal kami disebut setip. Suatu sore emak membimbingku mengerjakan PR matematika. Beberapa kali aku salah menulis angka, aku pun mencari karet penghapusku. Aku cari di tempat pensil, di tas, dan di seluruh saku tambahan tas, tapi tak aku temukan. Singkatnya, karet penghapusku hilang. Entah terjatuh saat masih di ruang kelas, dalam perjalanan pulang, di pinjam teman tapi tak bilang-bilang, atau aku hanya lupa memasukkan kembali ke tas. Emak sempat bersungut-sungut juga, karena ini bukan kali pertama aku kehilangan alat tulis. Emak beranjak pergi sambil mengomel,  meninggalkanku sendiri di meja ruang tamu. Aku memang biasa belajar di ruang tamu, maklum tidak punya meja belajar sendiri waktu itu.

Tak seberapa lama emak sudah kembali di sampingku. Disodorkannya sebuah benda kenyal seukuran ibu jari sambil berkata, “Sementara pakai ini dulu untuk menghapus”. Aku amati baik-baik karet penghapus pemberian emak. Bentuknya unik tidak seperti karet penghapus pada umumnya. Rasa-rasanya kok seperti potongan karet sandal jepit ya, pikirku saat itu. Akupun bilang pada emak, “Kok seperti karet sandal jepit, Mak.” Emak pun tertawa sambil berujar, “memang itu karet sandal jepit, Emak potongkan dari sandal jepitmu yang sudah putus talinya itu.” “Emang bisa untuk menghapus, Mak?” tanyaku polos, yah maklumlah anak-anak. “Bisalah, setip kan dibuat dari karet, jadi karet sandal jepit pun bisa digunakan untuk menghapus tulisan pensilmu, termasuk karet gelang yang biasa digunakan untuk mengikat es lilin itu, bisa digunakan sebagai setip.” Tanpa ba-bi-bu, aku coba menggunakan karet penghapus made in emak itu, sik...isik....isik......eitts....benar juga kata emak nih, karet sandal jepit bisa dipakai untuk menghapus tulisan pensilku, meski tak selunak dan seenak karet penghapus yang dijual di toko. Ah, emakku ternyata kreatif, lebih tepatnya mungkin KERE-AKTIF, jadi aktif karena tak mampu beliin karet penghapus anaknya, xixixixixixixi. Jadi tahu dah, ternyata emakku penganut falsafah ‘TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI, tak ada setip sandal jepit pun jadi.’ Duh, emak aku jadi terenyuh nih ingat dedikasimu dulu. I LOVE YOU FOREVER MAK!!!!

Begitulah, hingga suatu ketika ada teman yang kehilangan karet penghapus di kelasku. Aku pikir inilah saat tepat untuk berbagi ilmu yang sudah emak transfer kepadaku. Aku dekati teman yang kehilangan karet penghapus. Kebetulan waktu itu ada juga beberapa teman yang sedang berkumpul. Saat sudah berada diantara teman-teman, tiba-tiba aku berubah pikiran. Sifat anak-anakku muncul, yaitu sifat keegoan, ingin menonjol dan tak mau kalah dengan yang lain. “Setip-mu hilang, ya?” tanyaku pada Wulan, teman yang kehilangan setip-nya. Wulan hanya mengangguk. “Besok aku bawakan setip ya,” ujarku pada Wulan. “Emang kamu punya setip banyak di rumah?” tanya Wulan. “Iya, aku di rumah masih punya banyak setip,” jawabku. “Aku juga dibawain satu dong,” ucap temanku yang lain, “Aku juga ya, bawain satu,” ucap beberapa teman lainnya. “Oke deh, besok takbawain. Di rumah kakekku kan ada setip banyak,” ucapku ala anak-anak tentunya kala itu. “Kakekmu jualan setip, ya?” tanya seorang teman. “Hmmmm, nggak sih. Kakekku bisa buat setip sendiri kok,” jawabku. “Oh, kakekmu pengusaha setip, ya?” tanya teman yang lain. “Ya, begitulah,” jawabku. Gila! Aku sudah mengaku sebagai cucu pengusaha setip. Padahal setip yang aku maksud adalah setip made in emak, alias potongan dari sandal jepit bekas. Duhh, apa kata teman-teman nanti ya. Uhh salah sendiri ngapain juga harus mengaku cucu pengusaha setip, dasar anak-anak! LOL




Kulkas Baru


Di ruang tamu kami celingak-celinguk (ala anak-anak) mencari keberadaan itu kulkas. Lalu, seorang teman dengan muka antagonis ala anak-anak bertanya, “mana kulkasmu?” Vivin pun menjawab, “Hmm kulkasnya masih disimpan di lemari  kok sama ibuku.



Waktu itu aku masih duduk di kelas 2 SD. Kebiasaan setiap jam istirahat aku dan teman-teman berkumpul di samping sekolah, tepatnya di warung sederhana milik Mbok Mbon begitu kami biasa memanggilnya. “Mbok Mbon” sebenarnya panggilan untuk istri tukang kebun atau penjaga sekolah. Aku sendiri tidak tahu kenapa ibu itu dipanggil Mbok Mbon sedangkan dia sendiri bukan istrinya Tukang Kebun, ah mungkin kebiasaan aja kali ya, di sekolah-sekolah lain biasanya klu suami tukang kebun terus si istri berjualan di sekolah. Begitulah, sehingga terjadi salah kaprah, di sekolahku meskipun penjualnya bukan istri tukang kebun tetap saja dipanggil Mbok Mbon.

Kembali ke cerita aku tadi ya. Suatu hari temanku yang bernama Indri cerita kalau ia punya kulkas baru. Dia menceritakan dengan bangga sekali, maklum aja kami sekolah di desa. Apalagi masa itu, kulkas masih menjadi barang mewah bagi aku dan teman-temanku yang rata-rata ekonomi menengah kebawah. Masa itu, dibandingkan dengan teman-teman lain termasuk aku, Indri memang terlihat lebih bersih, barang-barang miliknya pun serba bagus dan bermerek. Pada saat bersamaan, Vivin seorang teman dari kelas tiga yang juga sering bermain bersama kami datang dan ikut menimbrung. Mendengar Indri punya kulkas baru, ia tak mau kalah. “Aku di rumah juga punya kulkas baru,” begitu ucap Vivin. “Ah, masak? Kapan belinya kemarin aku ke rumahmu ga ada kulkas.” Ucap seorang teman. “Kemarin, beli di Kartasura.” Jawab Vivin. “Nanti pulang sekolah boleh main ke rumahmu nggak, nanti dilihatin kulkasmu yah?” ucap seorang teman yang lain.

Akhirnya, sepulang sekolah aku dan tiga teman lain main ke rumah Vivin. Di ruang tamu kami celingak-celinguk (ala anak-anak) mencari keberadaan itu kulkas. Lalu, seorang teman dengan muka antagonis ala anak-anak bertanya, “mana kulkasmu?” Vivin pun menjawab, “Hmm kulkasnya masih disimpan di lemari  kok sama ibuku. Waktu itu, kami pun percaya begitu saja. Dasar bodoh, mana ada orang nyimpen kulkas di lemari. Hahahhaa.